Indonesia adalah negara besar keempat setelah China, India dan Amerika Serikat dengan jumlah penduduknya. Suatu kekuatan besar dari segi kuantitas penduduk dalam menggebrak dunia. Tetapi, apakah dengan jumlah penduduk yang besar lantas kita bisa berdiri berjaya di dunia era modern ini? Tentu tidak semerta-merta seperti itu. Indonesia masih harus mengubur mimpi-mimpinya itu melihat kenyataan bahwa Indonesia masih sangat terbelakang dari beberapa negara lainnya. Bangsa Indonesia masih kalah bersaing dengan negara-negara maju seperti negara-negara eropa lainnya.
Peningkatan kualitas SDM secara teori dan juga terbukti harus di dukung dengan asupan gizi yang baik dan seimbang. Salah satu sumber gizi terbaik tersebut adalah sumber pangan hewani yang jelas-jelas berasal dari produk peternakan (daging, telur dan susu). Lalu apakah kondisi ketika bangsa kita masih rendah mengkonsumsi daging menjadi alasan kita juga untuk menilai bahwa SDM kita juga lebih rendah dibandingkan dengan Negara lain. Namun demikian, jika pula kita kaitkan dengan Indeks Prestasi Manusia secara nasional, kondisinya memang masih perlu harus ditingkatkan, meski bukan harus dipaksa untuk makan daging, karena peningkatan kesejahteraan hidup dan kemudahan akses untuk memperoleh pangan yang sehat yang lebih utama ditingkatkan. Dengan peningkatan kesejahteraan (tidak miskin lagi) maka akan terjadi peningkatan konsumsi protein hewani dan akan berdampak baik pada peningkatan kualitas SDM sebuah bangsa.
Pernahkah kita mendengar suatu negara dengan bangganya memamerkan kepada dunia bahwa penduduknya masuk ‘rangking satu dunia’ dalam hal mengkonsumsi 1 kuintal nasi perkapita dalam setahunnya?? Jawabannya tentu tidak melainkan taraf kesejahteraan suatu negara ditentukan dari seberapa banyak konsumsi produk peternakan perkapita dalam setahunnya. Sementara itu, tingkat konsumsi daging, seperti unggas Indonesia masih minim. Kita lihat negara tetangga kita Malaysia yang rata-rata setiap bulannya mengkonsumsi daging ayam sebanyak tiga ekor, sementara Indonesia mengkonsumsi satu ekor ayam dalam tiga bulan.
Kondisi dan realitas di atas jika kita dikaitkan khususnya dengan asupan pangan (yang ideal) untuk pemenuhan gizi yang bersumber dari protein hewani, data-data statistik kembali menunjukan bahwa tingkat konsumsi produk peternakan atau protein hewani rata-rata penduduk Indonesia terendah di negara-negara ASEAN. Direktorat Jenderal Peternakan dalam datanya menunjukan bahwa konsumsi daging, susu, dan telur bangsa Indonesia berada jauh di bawah Malaysia`dan Filipina. Total tingkat konsumsi protein hewani bangsa Indonesia pada 2007 hanya 14,04 kg per kapita per tahun yaitu daging 5,13 kg per kapita per tahun, telur 6,78 kg per kapita per tahun, dan susu hanya 3,13 kg per kapita per tahun. Bandingkan dengan Negara tetangga Malaysia yang konsumsi dagingnya mencapai 46,87 kg per kapita per tahun. Demikian juga jika dibandingkan dengan konsumsi rata-rata bangsa Filipina, Indonesia juga masih kalah jauh. Rata-rata konsumsi produk hewani bangsa Filipina per kapita per tahun mencapai 26,96 kg.
Sebenarnya Indonesia juga sudah mulai mengalami pergeseran trend konsumsi pangan berbasis karbohidrat ke konsumsi pangan berbasis protein. Hal ini bisa kita lihat dari impor daging yang dilakukan Indonesia. Kendati telah melakukan impor daging tapi nyatanya kebutuhan daging dalam negeri belum dapat terpenuhi bahkan harga daging dalam 1 Kg pernah mencapai harga Rp 120.000 tetapi masyarakat tetap membelinya. Ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai melirik produk peternakan hanya saja produk yang diinginkan masyarakat masih sangat terbatas.
Berangkat dari itu semua peran peternakan dalam kontribusi membangun Indonesia yang gemilang sangat besar. Peternakan harus mengambil andil yang cukup besar untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang cerdas, sehat dan sejahtera. Sebagai pemasok kebutuhan pangan hewani, pemenuhan produksi dalam negeri daging ayam dan telur, dan susu pelaku usaha peternakan bersama pemerintah harus memperkuat industri dalam negeri. Sebagai bagian dari ketahanan pangan, pelaku usaha peternakan dalam negeri harus bertindak dari hulu sampai hilir, agar efisien dan berdayasaing tinggi sehingga pasar domestik tidak dibanjiri produk-produk dari luar negeri. Di sisi sisi untuk modernisasi industri peternakan agar menghasilkan produk yang efisien, higien, aman dan harga terjangkau sehingga mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Dengan terpenuhinya kebutuhan pangan hewani masyarakat akan meningkatkan daya konsumsi pangan hewani selain itu juga meningkatkan taraf kesejahteraan peternaknya.
Komentar